Oleh: S Mahmudah Noorhayati (Dosen IAI Nasional Laa Roiba)
Islam adalah agama sempurna dan paripurna. Hampir semua elemen kehidupan, terkecil sekalipun dikupas tuntas oleh agama ini. Salah satu hal yang diatur adalah bab akhlak. Al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 177 menetapkan bahwa akhlak tidak terlepas dari aqidah dan syariah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Pada ayat tersebut menjelaskan bahwa beriman kepada Allah SWT, beriman kepada hari akhir, keoada malaikat-malaikat dan kepada kitab-kitab Allah SWT merupakan tatanan dalam aqidah yang harus diyakini kebenarannya. Seorang mukmin harus mengimaninya dan tidak ragu atas keyakinannya tersebut. Adapun memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta, memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat adalah bagian tatanan syariah Islam yang berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Ayat tersebut juga mengatur tentang akhlak, yatu terkait dengan orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.
Itulah mengapa akhlak menjadi penting untuk kita perhatikan karena akhlak tidak hanya mempunyai dimensi horisontal dengan sesama makhluk (hablum minannas), tetapi juga dimensi vertikal yaitu hubungan yang dekat dengan Allah SWT (hablum minallah).
Malu Bagian dari Akhlak? Apakah malu itu dan apakah malu bagian dari akhlak terpuji?
Malu menurut kamus bahasa Indonesia adalah perasaan sangat tidak senang (hina, rendah, dsb), karena berbuat sesuatu yang kurang baik, Malu merupakan salah satu bentuk emosi manusia. Malu memiliki arti beragam, yaitu sebuah emosi, pengertian, pernyataan, atau kondisi yang dialami manusia akibat sebuah tindakan yang dilakukan sebelumnya, dan kemudian ingin ditutupinya.
Malu juga bisa berarti menahan diri dari perbuatan buruk, merasa sangat tidak nyaman jika melakukan perbuatan tercela dan melampaui batas. Malu menjadi indikasi benteng pertahanan dan perisai seseorang untuk enggan mengerjakan perbuatan maksiat dan yang merugikan orang lain. Artinya ketika seseorang memiliki rasa malu maka akan menjadi faktor pendorong untuk lebih banyak melakukan kebajikan. Jadi, malu sebenarnya kesadaran seseorang akan nilai dan norma kebenaran.
Islam menempatkan rasa malu sebagai bagian cabang keimanan seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Iman adalah pokoknya, cabangnya ada tujuh puluh lebih, dan malu termasuk cabangnya iman.” Dalam hadis lain, Nabi Muhammad saw. bersabda: “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah
Merujuk hadis tersebut sangat jelas bahwa rasa malu adalah akhlak yang sesuai dengan sunnatullah yang mendorong akal sehat untuk meninggalkan perbuatan buruk dan mendorong seseorang untuk tunduk menjalankan ajaran dan perintah Allah Swt. Relasi iman dan rasa malu pada akhirnya menumbuhkan pribadi dan karakter yang mulia yaitu berakhlakul karimah.
Menurut Schneider, malu membimbing seseorang untuk berlaku mempertahankan integritas, dan oleh karena itu sangat erat dengan disiplin etika. Sebagai salah satu cabang iman, seorang mukmin haruslah malu jika melakukan perbuatan-perbuatan tercela (akhlakul madzmumah). Malu untuk mencuri/korupsi, malu untuk berdusta, malu berkonflik, malu menyakiti sesame, malu meminjam tapi enggan mengembalikan, malu menghardik tanpa sebab yang jelas. Malu menfitnah, malu hidup berlebih-lebihan (berfoya-foya), malu menyuap dan menerima suap, malu menjadin orang yang jumawa serta perbuatan-perbuatan serupa yang merugikan orang lain bahkan menjatuhkan harga diri sendiri.
Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu. Jika diruntut rasa malu yang berhubungan dengan kesopanan ini memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesusilaan dan kebijaksanaan. Ingat pesan bijak Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”
Bagaimana cara menumbuhkan dan merawat sifat malu?
Jika sifat malu mulai luntur otomatis benteng pertahanan diri untuk menepis godaan nafsu mulai menipis. Di saat seperti ini seseorang harus segera mengoreksi diri, bermuhasabah dan kembali pada nilai-nilai ajaran Islam yang benar agar tidak tergelincir pada kesesatan bertindak.
“Sesungguhnya Allah SWT apabila hendak membinasakan seseorang, maka dicabut rasa malu dari orang itu. Bila sifat malu sudah dicabut darinya, maka ia akan mendapatinya dibenci orang, malah dianjurkan orang benci padanya. Jika ia telah dibenci orang, dicabutlah sifat amanah darinya. Jika sifat amanah telah dicabut darinya, kamu akan mendapatinya sebagai seorang pengkhianat. Jika telah menjadi pengkhianat, dicabutlah sifat kasih sayang. Jika telah hilang kasih sayangnya, maka jadilah ia seorang yang terkutuk. Jika ia telah menjadi orang terkutuk, maka lepaslah tali Islam darinya.” (HR Ibnu Majah)
Sumber sifat malu adalah keimanan dan pengakuan akan keagungan Allah Swt.Sebagai makhluk yang paling sempurna dengan bentuk fisik yang bagus (ahsani taqwim), juga dianugerahi Allah SWT seperangkat akal untuk berpikir (hayawanun natiq) maka dengan modal akal, seseorang dapat menumbuhkan dan merawat sifat malu secara waras. Gunakan akal sehat sebagai counter atas nafsu. Tanpa memanfaatkan akal secara tepat, seseorang akan terjerumus ke jurang kenistaan. “Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Al Hakim).
Takut dan malulah pada Allah SWT yang Maha Melihat. Takutlah ketika sedang berdusta, takutlah ketika mencederai hati orang lain, takut dan malu karena Allah SWT menyaksikan apapun yang kita perbuat meski tidak diketahui orang lain. Jadikanlah malu sebagai penghias perilaku yang anggun dan sahaja. Pupuklah rasa malu dengan terus berbuat amal dan kebaikan kepada siapapun dan dimanapun berada.